The Troubles | ||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Peta politik pulau Ireland | ||||||||
| ||||||||
Pihak yang terlibat | ||||||||
Angkatan-angkatan keselamatan negara |
Paramiliter republikan Ireland
|
Ulster loyalist paramilitaries
| ||||||
Kerugian dan korban | ||||||||
Tentera British: 705 Tentera Darat Ireland: 1 Gardaí: 9 IPS: 1 Jumlah: 11 |
PIRA: 291 INLA: 39 OIRA: 27 IPLO: 9 RIRA: 2 Jumlah: 368 |
UDA: 91 UVF: 62 RHC: 4 LVF: 3 UR: 2 Jumlah: 162 | ||||||
Korban awam: 1,841 (atau 1,935 termasuk bekas anggota) Jumlah yang tercedera: 47,500+ Jumlah keseluruhan: sekitar 50,000 |
The Troubles ("Kesusahan", Ireland: Na Trioblóidí ) atau juga umumnya dikenali sebagai "Konflik Ireland Utara" (bahasa Inggeris: Northern Ireland conflict) merupakan sebuah konflik etnonasionalis yang berlaku di Ireland Utara pada akhir abad 20. Konflik yang kadang-kadang digambarkan sebagai "perang gerila" atau "perang peringkat rendah" ini bermula sejak tahun 1960-an dan biasanya dianggap telah berakhir dengan Perjanjian Jumaat Suci pada tahun 1998. Walaupun konflik ini tertumpu di Ireland Utara, keganasan yang berlaku kadangkalanya turut dilaporkan tertumpah ke bahagian-bahagian tertentu di Republik Ireland, Britain, dan tanah besar Eropah.
Konflik ini didorongi motif politik dan nasionalisme melalui peristiwa-peristiwa sejarah tertentu. Ia juga bermotifkan etnik atau mazhab, namun ia bukanlah berdasarkan agama. Isu utama yang dibangkitkan dalam konflik ini adalah status perlembagaan Ireland Utara. Pihak yang setia dengan Britain (Unionist atau Loyalist) kebanyakannya berfahaman Protestan dan inginkan Ireland Utara kekal dalam United Kingdom; manakala pihak nasionalis atau republikan Ireland bermazhab Katolik mahukan Ireland Utara berpisah daripada United Kingdom dan bersatu semula dengan republik Ireland.
Awal dekad 1980 dibuka dengan kegiatan mogok yang dilakukan oleh 7 orang simpatisan republik yang ditahan oleh Britain di Penjara Maze. Kegiatan mogok lapar tersebut dilakukan sebagai kegiatan protes terhadap kebijakan Pemerintah Britain yang menangkap mereka yang diduga sebagai simpatisan republik tanpa proses pengadilan dan tindakan kasar petugas penjara terhadap tahanan. Sebelumnya, pada tahun 1976 sekelompok simpatisan republikan yang ditahan di penjara yang sama juga melakukan kegiatan protes berupa penolakan memakai seragam penjara yang diikuti dengan kegiatan mengotori dinding penjara dengan kotoran dan air najis 2 tahun sesudahnya. kegiatan mogok yang dilakukan pada tahun 1980 tersebut berlangsung selama 53 haridari 27 Oktober sehinggalah tanggal 18 Disember.
Setahun kemudian, para tahanan simpatisan republik kembali melakukan kegiatan mogok lapar apabila mengetahui bahawa tuntutan para peserta kegiatan mogok lapar pada tahun 1980 tidak dipenuhi . Berbeda dengan kegiatan mogok lapar sebelumnya, kegiatan mogok lapar pada tahun 1981 dilakukan dengan interval beberapa hari antara pesertanya dengan tujuan untuk menarik perhatian khalayak yang lebih besar. Kegiatan mogok lapar dimulai oleh Bobby Sands pada tanggal 1 Mac 1981. Uniknya, saat dia menjalani kegiatan mogok lapar tersebut, beliau terpilih sebagai salah satu anggota parlimen di Westminster. Bobby Sands akhirnya meninggal akibat 66 hari sesudah beliau memulai kegiatan mogoknya, dan pengebumiannya di Belfast dihadiri lebih daripada 100,000 orang. Meninggalnya Sands akibat kegiatan mogok lapar kemudian diikuti oleh kematian sembilan peserta mogok selama 3 bulan berikutnya.
Sesuai keinginan penggagas dan pesertanya, kegiatan mogok lapar yang dilakukan pada tahun 1981 berhasil menarik perhatian masyarakat dunia dan menaikkan semangat golongan nasionalis dan republikan. Beberapa tempat di dunia didirikan sebagai memperingati Bobby, sementara di wilayah lain kegiatan-kegiatan protes mengecam kerajaan Britain tercetus selepas kematian Bobby Sands. Di lain pihak, jumlah pemuda yang bergabung ke dalam kelompok paramiliter PIRA juga meningkat pesat. Hal tersebut mengikuti tren yang terjadi pasca insiden Bloody Sunday pada tahun 1972 di mana semakin banyak yang tertarik untuk bergabung ke PIRA dan secara langsung menambah kekuatan bagi mereka untuk terus menjalankan gerakan bersenjata.
Tanggal 12 Oktober 1984, terjadi kegiatan pengeboman di Hotel Grand di Brighton, England. kegiatan pengeboman tersebut menarik perhatian umum begitu besar kerana Perdana Menteri Margaret Thatcher sedang berada di sana dalam kongres Parti Konservatif pada masa sama. Dilaporkan 5 orang terbunuh dan 34 lainnya cedera, namun Thatcher sendiri selamat dalam insiden tersebut yang dianggap sebagai kegiatan balas dendam PIRA terhadap pemerintah Britain atas kematian Bobby Sands dan pihak yang bersimapati denga puak republikan lainnya dalam kegiatan mogok lapar tahun 1981.
Lima tahun pasca kegiatan mogok lapar tahun 1981, terjadi perpecahan dalam tubuh partai republikan Sinn Féin - parti yang disebut-sebut sebagai sayap politik PIRA. Perpecahan tersebut disebabkan sejumlah anggota Sinn Féin berusaha memanfaatkan momentum untuk menggalang dukungan melalui jalan politik pasca kegiatan mogok lapar yang menaikkan semangat kaum nasionalis republik. Upaya tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip Sinn Féin yang menolak penglibatan dalam parlimen Ireland Utara sejak Ireland Utara pertama kali terbentuk. Perbedaan pendapat tersebut menjadikan tampuk kekuasaan Sinn Féin terpecah menjadi dua di mana pecahannya lebih memihak kepada pihak Republican. Terpecahnya Sinn Féin juga diikuti dengan munculnya pecahan baru dari kelompok PIRA bernama Continuity Irish Republican Army (CIRA) pada tahun yang sama.
Pada tahun 1985, Britain melakukan dialog dengan Ireland lalu menghasilkan suatu kesepakatan yang dikenal sebagai Perjanjian Inggeris-Ireland. Antara intipati perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada Ireland sebagai penasihat bagi Ireland Utara untuk menyelesaikan konflik dan tidak akan ada perubahan dalam perlembagaan Ireland Utara, kecuali majoriti anggotanya memilih untuk bergabung ke dalam Republik Ireland. Namun, perjanjian tersebut juga mendapat penolakan baik dari kaum unionis maupun republik. Kaum unionis menolak perjanjian tersebut kerana memberi keleluasaan bagi Ireland untuk mencampuri kegiatan politik Ireland Utara, sementara kaum republikan - khususnya PIRA - melakukan penolakan kerana perjanjian tersebut masih menetapkan Ireland Utara sebagai bagian dari Britain. Lepas dari penolakan yang diterima, perjanjian tersebut tetap digunapakai oleh Britain dan Ireland.
Awal dasawarsa ini ditandai dengan peletakkan jawatan Margaret Thatcher dari kerusi Perdana Menteri Britain pada bulan November 1990. Secara keseluruhan, kegiatan-kegiatan pengganasan masih terjadi sepanjang dekad 1990-an, namun kesengitan situasi lebih menurun jika dibandingkan dengan dekad-dekad sebelumnya. Yang menariknya, pada permulaan dekad ini jumlah mangsa yang terkorban akibat serangan kaum loyalis sempat melampaui jumlah mangsa yang terkorban akibat serangan kaum republikan. Belakangan diketahui bahawa pada tempo hini, para militia loyalis mendapatkan sokongan senjata dan informasi rahsia dari anggota perisikan Britain.
Salah satu peristiwa pengganasan terbesar dalam dekad ini adalah peristiwa ledakan bom di pusat kota Manchester pada tanggal 15 Jun 1996. Insiden ledakan tersebut begitu diingat kerana begitu besarnya dampak kerusakan yang timbul dan mangsa cedera yang mencapai 200 orang. Ledakan tersebut juga disebut-sebut sebagai ledakan bom terbesar yang menimpa Britain sejak Perang Dunia Kedua. Sebagai akibatnya, banyak bangunan yang terpaksa dihancurkan dan dibangun kembali. Belakangan diketahui bahawa PIRA yang melakukan kegiatan tersebut. Selain kegiatan ledakan bom di Manchester, PIRA juga meledakkan bom di London beberapa bulan sebelumnya di awal 1996 yang mengakibatkan kerugian sebanyak puluhan juta pound sterling, setengah bilion paun streling apabila dikira secara keseluruhan dengan kerugian akibat daripada pengeboman Manchester.
Lepas dari konflik yang masih terus berlanjut, usaha untuk mengakhiri konflik di Ireland Utara semakin menemukan titik terang. Perjanjian Belfast (dikenal juga sebagai Perjanjian Jumaat Agung dirumuskan selepas berlangsungnya dialog antara partai-partai di Ireland Utara bersama pihak-pihak kerajaan Britain dan Ireland pada tahun 1998. Sejumlah poin penting dalam perjanjian ini antara lainnya ialah:
Berbagai perubahan dilakukan sebagai penerapan lanjutan dari Perjanjian Belfast. Salah satu perubahan penting yang dilakukan adalah reformasi dalam badan polis setempat Royal Ulster Constabulary di mana pada tahun 2001, namanya diubah menjadi Police Service of Northern Ireland (PSNI) yang dianggotai daripada 50% Katolik dan 50% Protestan. Perubahan tersebut dilakukan untuk mengubah imej polis di Ireland Utara yang selama ini dianggap diskriminatif dan semena-mena terhadap masyarakat Katolik dan nasionalis serta mengembalikan peranan mereka sebagai penjaga ketertiban di Ireland Utara usai penarikan balik tentera Britain.
Menjelang Perjanjian Belfast, kelompok-kelompok paramiliter di Ireland Utara menghentikan kegiatan bersenjatanya untuk sementara waktu. Usai Perjanjian Belfast disahkan, pelucutan senjata kesemua kelompok paramiliter dilakukan. Fokus utama dalam proses pelucutan senjata adalah penekanan bahawa PIRA merupakan kelompok paramiliter terbesar dan paling dominan semasa konflik ini berlangsung berlangsung. Upaya tersebut akhirnya diselesaikan setelah pada tahun 2005 apabila PIRA dipastikan sudah menghancurkan semua stok persenjataannya dengan disaksikan oleh pasukan pengawas independen. Setelah pelucutan senjata milik PIRA dilakukan, pelucutan senjata dilakukan kepada kelompok-kelompok paramiliter lain seperti UDA dan UVF.
Kebijakan PIRA untuk mengakhiri kegiatan bersenjatanya ternyata tetap mendapat penolakan dari sejumlah penyokongnya. Oleh kerana itu, pada tahun 1998 sejumlah simpatisan PIRA memutuskan untuk membelot dan membentuk kelompok paramiliter baru bernama Real IRA (RIRA). RIRA memiliki agenda untuk melanjutkan aktivitas bersenjata yang selama ini dilakukan oleh PIRA. Dalam sejumlah aksinya, mereka diketahui bekerja sama dengan Continuity IRA (CIRA) yang juga merupakan pecahan dari PIRA tahun 1986. Bisa dibilang, tinggal RIRA dan CIRA kelompok paramiliter di Ireland Utara yang masih aktif sehingga kini.
Meskipun terdapat kelompok-kelompok paramiliter kecil yang masih aktif hingga kondisi di Ireland Utara sudah jauh lebih kondusif sejak tahun 2000-an. Ireland Utara sekarang menjadi salah satu lokasi tujuan pelabur dan pelancong di Britania Raya. Lukisan-lukisan dinding yang selama ini menjadi visualisasi pertempuran di Ireland Utara kini menjadi saksi bisu sekaligus "galeri terbuka" untuk memeperingati konflik berkepanjangan tersebut. Sikap terbuka dam saling menghargai antara kedua-dua masyarakat Katolik dan Protestan juga semakin meningkat.
Namun, konflik yang sudah berlangsung selama hampir 30 tahun tersebut tetap saja membawa konsekuensi negatif bagi wilayah setempat. Beberapa di antaranya adalah sikap sentimentil yang masih kerap muncul antara komunitas Katolik dengan Protestan, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Ireland Utara selama the Troubles yang masih belum tertangani, korban jiwa dan kerugian harta benda akibat konflik, serta tekanan psikologi mendalam dalam kalangan masyarakat di Ireland Utara yang ditandai jumlah kasus perceraian, penyalahgunaan alkohol, dan bunuh diri dalam keluarga yang sangat tinggi.
Impak konflik ini terhadap masyarakat di Ireland Utara diumpamakan sebesar impak Pengeboman London kepada warga kota tersebut semasa Perang Dunia Kedua.:134 Tekanan yang berlaku daripada serangan bom dan rusuhan jalanan yang berlaku, kehadiran tempat pemeriksaan keselamatan dan anggota tentera yang meronda paling kuat kepada anak-anak dan belia muda.:209 Ramai orang yang kehilangan tempat tinggal mereka akibat gangguan yang berlaku ke atas mereka atau kes kebakaran ketika konflik berlangsung. Vandalisme juga merupakan masalah besar yang kerap timbul daripada pergelutan ini: sebanyak 10,000 rumah kosong yang dilakumusnahkan di Belfast sepanjang tahun 1970-an, kebanyakannya oleh kanak-kanak yang berusia antara 8 sehingga 13 tahun.:210
Menurut Conflict Archive on the Internet, sebanyak 3,532 orang telahj terbunuh dalam konflik ini antara tahun 1969 dan 2001, di mana 3,489 kes kematian ini berlaku antara tahun 1969 sehingga 1998. Menurut buku Lost Lives (edisi 2006) pula sebanyak 3,720 orang dikira terbunuh dari konflik ini antara tempoh 1966 sehingga 2006 dengan 3,635 daripada korban ini dari tahun 1969 sehingga 1998. Terdapat laporan bahawa sebanyak 257 daripada mangsa-mangsa konflik ini merupakan anak-anak di bawah umur 17 mewakili 7.2% daripada jumlah kiraan mangsa sewaktu tempoh ini; manakala ada laopran lain yang menyatakan sebanyak 274 orang anak-anak di bawah usia 18 tahun yang terbunuh dalam pergelutan ini.
Status | Jumlah |
---|---|
Orang awam (termasuk aktivis politik) | 1841 |
Kakitangan keselamatan British (berkhidmat dan bekas) | 1114 |
Tentera British (termasuk UDR, RIR dan TA) | 757 |
Polis Diraja Ulster | 319 |
Perkhdmatan Penjara Ireland Utara | 26 |
Pasukan polis Inggeris | 6 |
Tentera Udara Diraja British | 4 |
Tentera Laut Diraja British | 2 |
Kakitangan keselematan Ireland | 11 |
Garda Síochána | 9 |
Tentera Darat Ireland | 1 |
Perkhidmatan Penjara Ireland | 1 |
Paramilitia Republikan | 396 |
Paramilitia Loyalis | 170 |
the Northern Ireland conflict, known locally as 'the Troubles', endured for three decades and claimed the lives of more than 3,500 people
|title=
(bantuan).
The most popular school of thought on religion is encapsulated in McGarry and O'Leary's Explaining Northern Ireland (1995), and it is echoed by Coulter (1999) and Clayton (1998). The central argument is that religion is an ethnic marker, but that it is not generally politically relevant in and of itself. Instead, ethnonationalism lies at the root of the conflict. Hayes and McAllister (1999a) point out that this represents something of an academic consensus.
...these attitudes are not rooted particularly in religious belief, but rather in underlying ethnonational identity patterns.Unknown parameter
|dead-url=
ignored (bantuan)
It should, I think, be apparent that the Northern Irish conflict is not a religious conflict... Although religion has a place—and indeed an important one—in the repertoire of conflict in Northern Ireland, the majority of participants see the situation as primarily concerned with matters of politics and nationalism, not religion. And there is no reason to disagree with them.